Maha benar Allah Subhanallahu wa Ta’ala ketika berfirman:
“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan.” (Al-Baqarah: 268)
Syubhat-syubhat yang akan disebutkan dan yang semisalnya tidak lain
dihembuskan oleh syetan dan para pengikutnya dari kalangan orang-orang
Yahudi dan kelompok sekuler, kepada mereka yang lemah iman agar menjadi
takut terhadap syariat.
Syubhat pertama:
Kalau si perempuan hamil pada usia muda belia, maka kehamilannya tidak
akan sempurna sampai sembilan bulan, karena pertumbuhan tubuh perempuan
itu sendiri masih belum sempurna sehingga ia dimungkinkan akan menjalani
aborsi berulang kali.
Ini merupakan pandangan yang keliru. Karena seorang perempuan tidak
akan mengalami haid atau kehamilan melainkan Allah Subhanallahu wa
Ta’ala telah menjadikan tubuhnya siap untuk mengemban tugas tersebut.
Bagaimana bisa dikatakan bahwa seorang perempuan yang sudah mengalami
haid, belum siap hamil? Ini menyelisihi pendapat para pakar kesehatan
dan kalangan ilmuwan lainnya.
Hal mengherankan yang patut direnungkan oleh orang-orang berakal
adalah bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala menjadikan tubuh janin sesuai
dengan tubuh sang ibu dan perutnya. Sehingga ketika janin dari seorang
ibu berusia 15 tahun dan janin dari seorang ibu berusia 30 tahun
dilahirkan pada waktu yang sama, janin dari ibu pertama itu lebih kecil
dari janin ibu kedua. Dan hanya selang waktu beberapa hari, tubuh kedua
janin itu akan menjadi sama besar. Subhanallah.
Syubhat kedua:
Pernikahan dini dapat mengakibatkan cacat pada janin.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu telah menjawab pertanyaan
yang senada dengan syubhat di atas, dan mengatakan di dalam Majmu’
Fatawa beliau: “Ini merupakan sesuatu yang tidak pernah terjadi
sepanjang pengetahuan kami. Pernikahan dini itu dianjurkan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa dari kalian ada yang sudah
dapat memberikan nafkah, hendaklah ia menikah. Karena menikah itu akan
membuatnya lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Inilah yang disyariatkan. Maka kalau seseorang menikah pada saat ia
memang sudah sanggup menikah dan perlu menyalurkan syahwatnya, berarti
ia telah melakukan hal yang baik dan tidak berdosa. Sedangkan apa yang
telah dikatakan oleh orang tersebut bahwa janin dari pernikahan dini
akan memiliki cacat, adalah sesuatu yang mengada-ada. Ia sama sekali
tidak memiliki landasan bukti. Tidak lain itu hanyalah pemberian stigma
negatif atas pernikahan dini tanpa kebenaran dan pengetahuan sama
sekali. Kami sendiri dan banyak orang telah menikahkan anak-anak kami
secara dini. Tidak ada sesuatu apapun yang nampak kecuali kebaikan. Dan
kami tidak beranggapan bahwa pernikahan dini itu akan mengakibatkan
keburukan seperti yang dikatakan oleh orang itu.
Syubhat ketiga:
Sang ibu bisa jadi akan mengalami kekurangan darah, terutama selama masa kehamilan.
Syubhat ini tidak berbeda dengan yang sebelumnya. Ia hanya memberi
stigma negatif terhadap pernikahan dini. Banyak pakar kesehatan yang
menyangkal klaim tersebut. Dan ada cukup banyak wanita yang menikah di
usia dini namun mereka sama sekali tidak mengalami hal-hal yang
diklaimkan.
Syubhat keempat:
Angka kematian bayi dari ibu-ibu muda dapat bertambah dengan angka
prosentase lebih besar dari kematian bayi dari ibu-ibu yang berusia
lebih tua. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan
kesadaran mengenai perawatan dan pemberian asupan makanan untuk janin.
Klaim ini, kalau memang benar, bukanlah problem yang dimunculkan oleh
pernikahan dini. Akan tetapi ia adalah problem minimnya kesadaran dan
pengajaran mengenar besarnya tanggung jawab yang diemban. Namun kami
katakan: Sesungguhnya kalau perempuan-perempuan muda belia itu
melahirkan, mereka tidak akan memikul tanggung jawab terhadap anaknya
yang masih kecil sendirian. Akan ada wanita-wanita lain yang membantu
mengurusi anaknya dan memberikan saran-saran mengenai apa yang harus
dilakukan, dalam hal menyusui, mencuci pakaian atau menjaga si anak
ketika ia sedang sakit dan sebagainya. Terutama ibu mertua yang tidak
lain adalah nenek si anak yang baru dilahirkan itu.
Rasa kasih dan sayang sang nenek terhadap anak tersebut adalah
seperti rasa kasih dan sayang sang ibu. Wanita-wanita ini akan
senantiasa ikut memberikan perhatian mereka sampai sang ibu menjadi
terampil untuk mengurusi anaknya sendirian pada kehamilan berikutnya,
sekalipun usianya masih sangat muda. Ini adalah hal yang sudah biasa
kami dapatkan. Dengan mata kepala kami sendiri, kami pernah melihat
perempuan-perempuan yang masih sangat muda, mengajarkan wanita lebih tua
yang baru menikah kemudian tentang bagaimana mengasuh anak.
Perempuan-perempuan muda itu menikah di usia dini, sehingga mereka sudah
cukup trampil mengasuh anak.
Syubhat kelima:
Pernikahan dini menghalangi perempuan untuk melanjutkan pendidikan.
Perkataan ini kami sanggah dengan beberapa hal: Pertama, keyakinan
bahwa setiap perempuan harus meneruskan pendidikannya ke tingkat
perguruan tinggi adalah sesuatu yang tidak dapat diterima secara
syariat, akal atau juga adat kebiasaan. Karena sudah dimaklumi bahwa ada
perempuan yang tidak hendak melanjutkan pendidikannya. Dan banyak
perempuan yang tidak memiliki keinginan untuk meneruskan studi,
sekalipun ia belum menikah. Maka menjadikan pernikahan dini sebagai
sebab perempuan tidak dapat melanjutkan studi merupakan sebuah
kesalahan.
Kedua, pernikahan dini sama sekali tidak menghalangi seorang
perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Perempuan tersebut atau ayahnya
bisa saja mempersyaratkan kepada calon suami bahwa ia akan melanjutkan
pendidikan syar’i yang tetap dalam koridor syariat. Cukup banya
perempuan yang menikah dan tetap melanjutkan pendidikan serta memiliki
pengalaman yang sukses. Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut
adalah pengalaman beberapa lembaga pendidikan salafi yang berada di
Yaman dan sebagian perguruan tinggi yang tidak memberlakukan koedukasi
(ikhtilat antara pelajar laki-laki dan perempuan) di beberapa negara
Arab. Banyak perempuan yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan
tersebut, mereka menghafal Al-Qur’an, mempelajari beberapa materi dalam
bidang Fiqh, Hadits, Nahwu dan sebagainya. Dan di saat yang sama, mereka
adalah istri yang harus melayani suami, juga seorang ibu yang mesti
mengasuh anak-anak.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu pernah ditanya: “Apa pendapat anda
mengenai pernikahan seorang pelajar yang memang mampu untuk menikah, dan
ia menjalani studi di perguran tinggi, apakah pernikahan itu akan
memengaruhi belajarnya?” Beliau menjawab: “Saya menasehatkan untuk
menikah pada usia dini karena ia tidak mempengaruhi belajar seseorang.
As-Salaf ash-Shalih sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
sampai masa kita sekarang ini, mereka belajar, menuntut ilmu dan
menikah. Menikah justru akan membantunya dalam kebaikan. Kalau ia
memiliki kemampuan, maka pernikahan itu akan membantunya dalam kebaikan
dan tidak menghalanginya untuk belajar. Juga tidak akan menyibukkannya
dari belajar.
Bahkan pernikahan akan menundukkan pandangan matanya dan membawa
ketentraman dalam jiwanya serta kenyamanan dalam hatinya. Pernikahan itu
juga akan menghindarkan dirinya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah
Subhanallahu wa Ta’ala. Kalau memang mudah baginya untuk menikah, maka
saya nasehatkan ia untuk menikah. Dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah
Subhanallahu wa Ta’ala dalam urusan tersebut, sekaligus mengamalkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa dari kalian ada yang sudah
dapat memberikan nafkah, hendaklah ia menikah. Karena menikah itu akan
membuatnya lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ketiga, dengan menikah di usia dini, seorang perempuan bisa jadi
tidak dapat belajar. Akan tetapi di waktu yang bersamaan, sesungguhnya
ia sedang menyiapkan generasi ulama, pembelajar dan cerdik-cendekia.
Sebagian besar ilmuwan dan orang-orang besar, kalau anda mencari tahu
perihal ibu-ibu mereka, maka akan anda dapatkan bahwa para ibu itu tidak
dapat membaca dan menulis.
Syubhat keenam:
Anak-anak muda yang masih dalam masa pubertas dianggap tidak mampu mengambil keputusan yang tepat.
Jawabnya: Alasan ini lemah karena beberapa hal: Pertama, karena si
perempuan dapat meminta pendapat dan saran dari walinya dalam segala
urusan terutama urusan pernikahan. Dan masyarakat islami adalah
masyarakat yang dipenuhi dengan rasa kasih sayang, persaudaraan dan
ketulusan serta sikap saling membantu. Bukan yang penuh dengan sikap
egois. Kedua, bagaimana halnya dengan laki-laki atau perempuan yang
sakit jiwa, apakah mereka ini tidak dinikahkan? Ataukah orang-orang
pelontar syubhat itu berpandangan bahwa golongan orang seperti ini tidak
dinikahkan sampai mereka dapat mengambil keputusan tepat sendiri?
Syubhat ketujuh:
Si perempuan tidak akan bisa menyesuaikan diri dengan sang suami atau
keluarga suaminya, karena usianya yang masih kecil. Sehingga pernikahan
dini hanya akan berarti perceraian dini.
Jawaban atas hal ini dari beberapa sudut: Pertama,
penelitian-penelitian modern menerangkan bahwa seorang perempuan muda
belia memiliki faktor-faktor penunjang dan sebab-sebab yang membuatnya
dapat menyesuaikan diri dengan sang suami dan keluarga suami, yang mana
faktor dan sebab itu tidak ada pada diri wanita dewasa. Hal demikian ini
disebabkan oleh beberapa perkara. Di antaranya ialah bahwa seorang
wanita dewasa akan memandang dirinya memiliki kemerdekaan pribadi,
apalagi dengan adanya klaim pembebasan wanita dan kesetaraan kaum wanita
dengan kaum pria.
Pada saat yang sama, sebagian wanita dewasa pun ada yang sudah
menikah namun masih tidak dapat menyesuaikan diri dengan suami dan
keluarga suami dikarenakan berbagai macam sebab seperti perbedaan adat
kebiasaan kebiasaan, perbedaan kepribadian, cara berpikir dan
sebagainya. Kemudian, kenyataan menjelaskan kepada kita bahwa pernikahan
dini lebih jauh dari kemungkinan perceraian. Maka penundaan menikah
bagi seorang perempuan justru berarti semakin dekatnya pernikahan
tersebut dengan kemungkinan perceraian. Kedua, penjelasan penting; Kami
hendak menyinggung beberapa persoalan penting di bagian akhir tulisan
ini, yaitu:
Sebenarnya, sebagian dari syubhat-syubhat di atas tidak ada kaitannya
dengan pernikahan dini itu sendiri. Sehingga ia tidak dapat menjadi
syubhat dan tidak selayaknya dimunculkan untuk membuat pernikahan dini
menjadi tampak buruk. Syubhat-syubhat itu justru mungkin juga untuk
dilontarkan pada semua bentuk pernikahan.
Mayoritas syubhat-syubhat di atas dilancarkan tidak lain oleh para
musuh Islam, dan mereka jelas tidak dapat dijadikan sebagai kepercayaan.
Bahkan mereka dapat dikenakan tuduhan memberikan stigma negatif
terhadap pernikahan dini.
Kalau ada sebuah pernikahan dini -seandainya istilah ini dapat
dibenarkan-, kemudian di dalamnya terjadi sebuah kegagalan atau
perceraian, maka sebab dari kegagalan dan perceraian itu harus dilihat.
Dan tidak selayaknya pernikahan dini itu sendiri yang dijadikan sebagai
sebab kegagalan. Hal-hal yang menyebabkan kegagalan itu bisa terdapat di
semua bentuk pernikahan. Misalnya, ada yang tidak dapat berinteraksi
dengan baik terhadap si perempuan di malam pengantin. Hal seperti ini
jelas juga bisa ada pada selain pernikahan dini. Demikian juga kalau si
perempuan tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik,
dalam urusan hubungan suami istri atau mengurus rumah dan sebagainya.
Tinjauan Ulang Atas Undang-undang Pembatasan Usia Nikah
Pembatasan usia nikah pada umur 17 tahun adalah sebuah kekeliruan karena beberapa hal. Saya cukupkan dengan tiga hal saja:
Pertama, larangan menikah di bawah umur 17 tahun
bagi seorang perempuan adalah larangan atas sesuatu yang dihalalkan dan
dibolehkan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Sehingga ia tidak dapat
diterima dari sisi ini. Kalau memang dapat dibuktikan bahwa pernikahan
dini dapat menyebabkan mudarat bagi sekian banyak perempuan, maka harus
dibedakan antara dua hal: Apakah mudarat tersebut terjadi akibat
pernikahan dini itu sendiri ataukah karena hal lain yang terpisah
darinya?
Para orang tua berkewajiban untuk mengatasi dan mencegah terjadinya
mudarat tersebut dari putri mereka tanpa harus melarang putri mereka itu
untuk menikah di usia dini. Dan perlu diingat, ketetapan bahwa
pernikahan dini itu membawa mudarat tidak bersandar pada penelitian yang
memadai dan argumen yang dapat diterima. Ia hanya memenuhi tuntutan
sekian banyak organisasi yang melancarkan desakan-desakan sehingga
lahirlah ketetapan-ketetapan semacam itu.
Kedua, efek-efek negatif yang menimpa kaum perempuan
sebagaimana yang diklaim oleh mereka yang memberlakukan undang-undang
pembatasan usia nikah, kalau memang benar, maka ia dihadapkan pada
mudarat-mudarat lain yang lebih besar. Sehingga mudarat yang lebih
ringan perlu dikedepankan untuk mencegah mudarat yang lebih berat. Sejak
mencapai usia baligh dengan mengalami haid sampai usia 17 tahun,
seorang perempuan menjalani masa-masa pergulatan dengan
dorongan-dorongan naluriahnya. Terutama di dalam kondisi masyarakat yang
penuh dengan godaan-godaan nafsu seksual dan penyimpangan-penyimpangan
moral. Ini merupakan mudarat yang harus dihindarkan dari kaum perempuan.
Bahkan ia lebih besar dari mudarat-mudarat yang disebutkan sebelumnya.
Karena mudarat ini bersifat umum, menyangkut pribadi dan masyarakat.
Mudarat tersebut harus dihilangkan dan ia tak dapat dihilangkan kecuali
melalui jalur pernikahan.
Ketiga, usia baligh pada perempuan kadangkala jauh
sebelum umur 17 tahun. Mungkin saja ia sudah baligh pada usia 8 tahun
atau lebih sedikit. Dengan demikian, ini merupakan pembedaan antara usia
baligh dan usia nikah. Seolah-olah usia baligh itu tidak menandakan
kesiapan seorang perempuan untuk menikah. Tentu tidak ada seorang pun
yang akan mengatakan demikian. Semua orang jelas akan sepakat bahwa
dengan mencapai usia baligh, seorang perempuan dikatakan telah siap
untuk menikah dan hamil.
Larangan menikah sebelum usia 17 tahun mengandung mudarat bagi sekian
banyak keluarga. Karena cukup banyak keluarga di Yaman dan selainnya
yang menikahkan anak-anak perempuan mereka karena beberapa maksud
tertentu, di antaranya adalah agar si perempuan dapat membantu mengurus
keluarga suaminya. Demikian.
Wa shallallahu wa sallama wa baarak ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihii wa shahbih.