Kamis, 09 Agustus 2012

5 (Lima) Hikmah Menikah


ANJURAN telah banyak disinggung oleh Allah dalam al-Quran dan Nabi lewat perkataan dan perbuatannya. Hikmah yang terserak di balik anjuran tersebut bertebaran mewarnai perjalanan hidup manusia. Secara sederhana, setidaknya ada 5 (lima) hikmah di balik perintah menikah dalam Islam.


Pertama, sebagai wadah birahi manusia. Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya negatif. Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi dan menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi ‘aspirasi’ nulari normal seorang anak keturunan Adam.

Kedua, meneguhkan akhlak terpuji. Dengan menikah, dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu berupaya membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang baik. Akhlak dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu bangsa. Kenyataan yang ada selama ini menujukkkan gejala tidak baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam pergaulan. Jauh sebelumnya, Nabi telah memberikan suntikan motivasi kepada para pemuda untuk menikah, “Wahai para pemuda, barangsiapa sudah memiliki kemampuan untuk menafkahi, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat meredam keliaran pandangan, pemelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa adalah sebaik-baik benteng diri.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ketiga, membangun rumah tangga islami. Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu maupun sekarang hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga islami. Layaknya perahu, perjalanan rumah tangga kadang terombang-ambing ombak di lautan. Ada aral melintang. Ada kesulitan datang menghadang. Semuanya adalah tantangan dan riak-riak yang berbanding lurus dengan keteguhan sikap dan komitmen membangun rumah tangga ala Rasul dan sahabatnya.
Sabar dan syukur adalah kunci meraih hikmah ketiga ini. Diriwayatkan tentang sayidina umar yang memperoleh cobaan dalam membangun rumah tangga.
Suatu hari, Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman khalifah Umar bin Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah, tak tahan dengan kecerewetan istrinya.
Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah.Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.
Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Beliau berkata, “Wahai saudaraku, istriku adalah yang memasak masakan untukku, mencuci pakaian-pakaianku, menunaikan hajat-hajatku, menyusui anak-anakku. Jika beberapa kali ia berbuat tidak baik kepada kita, janganlah kita hanya mengingat keburukannya dan melupakan kebaikannya.”
Pasangan yang ingin membangun rumah tangga islami mesti menyertakan prinsip kesabaran dan rasa syukur dalam mempertahankan ‘perahu daratannya’.

Keempat, memotivasi semangat ibadah, Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya. Dengan menikah, diharapkan pasangan suami-istri saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan. Dengan menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan Rasul-Nya.
Lebih dari itu, hubungan biologis antara laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan terhitung sebagai sedekah. Seperti diungkap oleh rasul dalam haditsnya, “Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.” “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim)

Kelima, melahirkan keturunan yang baik Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang salih, berkualitas iman dan takwanya, cerdas secara spiritual, emosional, maupun intelektual. Dengan menikah, orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu melahikan generasi yang baik pula. Lima hikmah menikah di atas, adalah satu aspek dari sekian banyak aspek di balik titah menikah yang digaungkan Islam kepada umat. Saatnya, muda-mudi berpikir keras, mencari jodoh yang baik, bermusyawarah dengan Allah dan keluarga, cari dan temukan pasangan yang beriman, berperangai mulia, berkualitas secara agama, lalu menikahlah dan nikmati hikmah-hikmahnya. Wallahu A`lam.

7 Syubhat Penghalang Pernikahan Dini


Maha benar Allah Subhanallahu wa Ta’ala ketika berfirman:
“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan.” (Al-Baqarah: 268)
Syubhat-syubhat yang akan disebutkan dan yang semisalnya tidak lain dihembuskan oleh syetan dan para pengikutnya dari kalangan orang-orang Yahudi dan kelompok sekuler, kepada mereka yang lemah iman agar menjadi takut terhadap syariat.

Syubhat pertama:
Kalau si perempuan hamil pada usia muda belia, maka kehamilannya tidak akan sempurna sampai sembilan bulan, karena pertumbuhan tubuh perempuan itu sendiri masih belum sempurna sehingga ia dimungkinkan akan menjalani aborsi berulang kali.
Ini merupakan pandangan yang keliru. Karena seorang perempuan tidak akan mengalami haid atau kehamilan melainkan Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah menjadikan tubuhnya siap untuk mengemban tugas tersebut. Bagaimana bisa dikatakan bahwa seorang perempuan yang sudah mengalami haid, belum siap hamil? Ini menyelisihi pendapat para pakar kesehatan dan kalangan ilmuwan lainnya.
Hal mengherankan yang patut direnungkan oleh orang-orang berakal adalah bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala menjadikan tubuh janin sesuai dengan tubuh sang ibu dan perutnya. Sehingga ketika janin dari seorang ibu berusia 15 tahun dan janin dari seorang ibu berusia 30 tahun dilahirkan pada waktu yang sama, janin dari ibu pertama itu lebih kecil dari janin ibu kedua. Dan hanya selang waktu beberapa hari, tubuh kedua janin itu akan menjadi sama besar. Subhanallah.

Syubhat kedua:
Pernikahan dini dapat mengakibatkan cacat pada janin.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu telah menjawab pertanyaan yang senada dengan syubhat di atas, dan mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa beliau: “Ini merupakan sesuatu yang tidak pernah terjadi sepanjang pengetahuan kami. Pernikahan dini itu dianjurkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa dari kalian ada yang sudah dapat memberikan nafkah, hendaklah ia menikah. Karena menikah itu akan membuatnya lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah yang disyariatkan. Maka kalau seseorang menikah pada saat ia memang sudah sanggup menikah dan perlu menyalurkan syahwatnya, berarti ia telah melakukan hal yang baik dan tidak berdosa. Sedangkan apa yang telah dikatakan oleh orang tersebut bahwa janin dari pernikahan dini akan memiliki cacat, adalah sesuatu yang mengada-ada. Ia sama sekali tidak memiliki landasan bukti. Tidak lain itu hanyalah pemberian stigma negatif atas pernikahan dini tanpa kebenaran dan pengetahuan sama sekali. Kami sendiri dan banyak orang telah menikahkan anak-anak kami secara dini. Tidak ada sesuatu apapun yang nampak kecuali kebaikan. Dan kami tidak beranggapan bahwa pernikahan dini itu akan mengakibatkan keburukan seperti yang dikatakan oleh orang itu.

Syubhat ketiga:
Sang ibu bisa jadi akan mengalami kekurangan darah, terutama selama masa kehamilan.
Syubhat ini tidak berbeda dengan yang sebelumnya. Ia hanya memberi stigma negatif terhadap pernikahan dini. Banyak pakar kesehatan yang menyangkal klaim tersebut. Dan ada cukup banyak wanita yang menikah di usia dini namun mereka sama sekali tidak mengalami hal-hal yang diklaimkan.

Syubhat keempat:
Angka kematian bayi dari ibu-ibu muda dapat bertambah dengan angka prosentase lebih besar dari kematian bayi dari ibu-ibu yang berusia lebih tua. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan kesadaran mengenai perawatan dan pemberian asupan makanan untuk janin.
Klaim ini, kalau memang benar, bukanlah problem yang dimunculkan oleh pernikahan dini. Akan tetapi ia adalah problem minimnya kesadaran dan pengajaran mengenar besarnya tanggung jawab yang diemban. Namun kami katakan: Sesungguhnya kalau perempuan-perempuan muda belia itu melahirkan, mereka tidak akan memikul tanggung jawab terhadap anaknya yang masih kecil sendirian. Akan ada wanita-wanita lain yang membantu mengurusi anaknya dan memberikan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan, dalam hal menyusui, mencuci pakaian atau menjaga si anak ketika ia sedang sakit dan sebagainya. Terutama ibu mertua yang tidak lain adalah nenek si anak yang baru dilahirkan itu.
Rasa kasih dan sayang sang nenek terhadap anak tersebut adalah seperti rasa kasih dan sayang sang ibu. Wanita-wanita ini akan senantiasa ikut memberikan perhatian mereka sampai sang ibu menjadi terampil untuk mengurusi anaknya sendirian pada kehamilan berikutnya, sekalipun usianya masih sangat muda. Ini adalah hal yang sudah biasa kami dapatkan. Dengan mata kepala kami sendiri, kami pernah melihat perempuan-perempuan yang masih sangat muda, mengajarkan wanita lebih tua yang baru menikah kemudian tentang bagaimana mengasuh anak. Perempuan-perempuan muda itu menikah di usia dini, sehingga mereka sudah cukup trampil mengasuh anak.

Syubhat kelima:
Pernikahan dini menghalangi perempuan untuk melanjutkan pendidikan.
Perkataan ini kami sanggah dengan beberapa hal: Pertama, keyakinan bahwa setiap perempuan harus meneruskan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi adalah sesuatu yang tidak dapat diterima secara syariat, akal atau juga adat kebiasaan. Karena sudah dimaklumi bahwa ada perempuan yang tidak hendak melanjutkan pendidikannya. Dan banyak perempuan yang tidak memiliki keinginan untuk meneruskan studi, sekalipun ia belum menikah. Maka menjadikan pernikahan dini sebagai sebab perempuan tidak dapat melanjutkan studi merupakan sebuah kesalahan.
Kedua, pernikahan dini sama sekali tidak menghalangi seorang perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Perempuan tersebut atau ayahnya bisa saja mempersyaratkan kepada calon suami bahwa ia akan melanjutkan pendidikan syar’i yang tetap dalam koridor syariat. Cukup banya perempuan yang menikah dan tetap melanjutkan pendidikan serta memiliki pengalaman yang sukses. Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah pengalaman beberapa lembaga pendidikan salafi yang berada di Yaman dan sebagian perguruan tinggi yang tidak memberlakukan koedukasi (ikhtilat antara pelajar laki-laki dan perempuan) di beberapa negara Arab. Banyak perempuan yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan tersebut, mereka menghafal Al-Qur’an, mempelajari beberapa materi dalam bidang Fiqh, Hadits, Nahwu dan sebagainya. Dan di saat yang sama, mereka adalah istri yang harus melayani suami, juga seorang ibu yang mesti mengasuh anak-anak.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu pernah ditanya: “Apa pendapat anda mengenai pernikahan seorang pelajar yang memang mampu untuk menikah, dan ia menjalani studi di perguran tinggi, apakah pernikahan itu akan memengaruhi belajarnya?” Beliau menjawab: “Saya menasehatkan untuk menikah pada usia dini karena ia tidak mempengaruhi belajar seseorang. As-Salaf ash-Shalih sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sampai masa kita sekarang ini, mereka belajar, menuntut ilmu dan menikah. Menikah justru akan membantunya dalam kebaikan. Kalau ia memiliki kemampuan, maka pernikahan itu akan membantunya dalam kebaikan dan tidak menghalanginya untuk belajar. Juga tidak akan menyibukkannya dari belajar.
Bahkan pernikahan akan menundukkan pandangan matanya dan membawa ketentraman dalam jiwanya serta kenyamanan dalam hatinya. Pernikahan itu juga akan menghindarkan dirinya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Kalau memang mudah baginya untuk menikah, maka saya nasehatkan ia untuk menikah. Dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala dalam urusan tersebut, sekaligus mengamalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa dari kalian ada yang sudah dapat memberikan nafkah, hendaklah ia menikah. Karena menikah itu akan membuatnya lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, dengan menikah di usia dini, seorang perempuan bisa jadi tidak dapat belajar. Akan tetapi di waktu yang bersamaan, sesungguhnya ia sedang menyiapkan generasi ulama, pembelajar dan cerdik-cendekia. Sebagian besar ilmuwan dan orang-orang besar, kalau anda mencari tahu perihal ibu-ibu mereka, maka akan anda dapatkan bahwa para ibu itu tidak dapat membaca dan menulis.

Syubhat keenam:
Anak-anak muda yang masih dalam masa pubertas dianggap tidak mampu mengambil keputusan yang tepat.
Jawabnya: Alasan ini lemah karena beberapa hal: Pertama, karena si perempuan dapat meminta pendapat dan saran dari walinya dalam segala urusan terutama urusan pernikahan. Dan masyarakat islami adalah masyarakat yang dipenuhi dengan rasa kasih sayang, persaudaraan dan ketulusan serta sikap saling membantu. Bukan yang penuh dengan sikap egois. Kedua, bagaimana halnya dengan laki-laki atau perempuan yang sakit jiwa, apakah mereka ini tidak dinikahkan? Ataukah orang-orang pelontar syubhat itu berpandangan bahwa golongan orang seperti ini tidak dinikahkan sampai mereka dapat mengambil keputusan tepat sendiri?

Syubhat ketujuh:
Si perempuan tidak akan bisa menyesuaikan diri dengan sang suami atau keluarga suaminya, karena usianya yang masih kecil. Sehingga pernikahan dini hanya akan berarti perceraian dini.
Jawaban atas hal ini dari beberapa sudut: Pertama, penelitian-penelitian modern menerangkan bahwa seorang perempuan muda belia memiliki faktor-faktor penunjang dan sebab-sebab yang membuatnya dapat menyesuaikan diri dengan sang suami dan keluarga suami, yang mana faktor dan sebab itu tidak ada pada diri wanita dewasa. Hal demikian ini disebabkan oleh beberapa perkara. Di antaranya ialah bahwa seorang wanita dewasa akan memandang dirinya memiliki kemerdekaan pribadi, apalagi dengan adanya klaim pembebasan wanita dan kesetaraan kaum wanita dengan kaum pria.
Pada saat yang sama, sebagian wanita dewasa pun ada yang sudah menikah namun masih tidak dapat menyesuaikan diri dengan suami dan keluarga suami dikarenakan berbagai macam sebab seperti perbedaan adat kebiasaan kebiasaan, perbedaan kepribadian, cara berpikir dan sebagainya. Kemudian, kenyataan menjelaskan kepada kita bahwa pernikahan dini lebih jauh dari kemungkinan perceraian. Maka penundaan menikah bagi seorang perempuan justru berarti semakin dekatnya pernikahan tersebut dengan kemungkinan perceraian. Kedua, penjelasan penting; Kami hendak menyinggung beberapa persoalan penting di bagian akhir tulisan ini, yaitu:
Sebenarnya, sebagian dari syubhat-syubhat di atas tidak ada kaitannya dengan pernikahan dini itu sendiri. Sehingga ia tidak dapat menjadi syubhat dan tidak selayaknya dimunculkan untuk membuat pernikahan dini menjadi tampak buruk. Syubhat-syubhat itu justru mungkin juga untuk dilontarkan pada semua bentuk pernikahan.
Mayoritas syubhat-syubhat di atas dilancarkan tidak lain oleh para musuh Islam, dan mereka jelas tidak dapat dijadikan sebagai kepercayaan. Bahkan mereka dapat dikenakan tuduhan memberikan stigma negatif terhadap pernikahan dini.
Kalau ada sebuah pernikahan dini -seandainya istilah ini dapat dibenarkan-, kemudian di dalamnya terjadi sebuah kegagalan atau perceraian, maka sebab dari kegagalan dan perceraian itu harus dilihat. Dan tidak selayaknya pernikahan dini itu sendiri yang dijadikan sebagai sebab kegagalan. Hal-hal yang menyebabkan kegagalan itu bisa terdapat di semua bentuk pernikahan. Misalnya, ada yang tidak dapat berinteraksi dengan baik terhadap si perempuan di malam pengantin. Hal seperti ini jelas juga bisa ada pada selain pernikahan dini. Demikian juga kalau si perempuan tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik, dalam urusan hubungan suami istri atau mengurus rumah dan sebagainya.
Tinjauan Ulang Atas Undang-undang Pembatasan Usia Nikah
Pembatasan usia nikah pada umur 17 tahun adalah sebuah kekeliruan karena beberapa hal. Saya cukupkan dengan tiga hal saja:
Pertama, larangan menikah di bawah umur 17 tahun bagi seorang perempuan adalah larangan atas sesuatu yang dihalalkan dan dibolehkan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Sehingga ia tidak dapat diterima dari sisi ini. Kalau memang dapat dibuktikan bahwa pernikahan dini dapat menyebabkan mudarat bagi sekian banyak perempuan, maka harus dibedakan antara dua hal: Apakah mudarat tersebut terjadi akibat pernikahan dini itu sendiri ataukah karena hal lain yang terpisah darinya?
Para orang tua berkewajiban untuk mengatasi dan mencegah terjadinya mudarat tersebut dari putri mereka tanpa harus melarang putri mereka itu untuk menikah di usia dini. Dan perlu diingat, ketetapan bahwa pernikahan dini itu membawa mudarat tidak bersandar pada penelitian yang memadai dan argumen yang dapat diterima. Ia hanya memenuhi tuntutan sekian banyak organisasi yang melancarkan desakan-desakan sehingga lahirlah ketetapan-ketetapan semacam itu.
Kedua, efek-efek negatif yang menimpa kaum perempuan sebagaimana yang diklaim oleh mereka yang memberlakukan undang-undang pembatasan usia nikah, kalau memang benar, maka ia dihadapkan pada mudarat-mudarat lain yang lebih besar. Sehingga mudarat yang lebih ringan perlu dikedepankan untuk mencegah mudarat yang lebih berat. Sejak mencapai usia baligh dengan mengalami haid sampai usia 17 tahun, seorang perempuan menjalani masa-masa pergulatan dengan dorongan-dorongan naluriahnya. Terutama di dalam kondisi masyarakat yang penuh dengan godaan-godaan nafsu seksual dan penyimpangan-penyimpangan moral. Ini merupakan mudarat yang harus dihindarkan dari kaum perempuan. Bahkan ia lebih besar dari mudarat-mudarat yang disebutkan sebelumnya. Karena mudarat ini bersifat umum, menyangkut pribadi dan masyarakat. Mudarat tersebut harus dihilangkan dan ia tak dapat dihilangkan kecuali melalui jalur pernikahan.
Ketiga, usia baligh pada perempuan kadangkala jauh sebelum umur 17 tahun. Mungkin saja ia sudah baligh pada usia 8 tahun atau lebih sedikit. Dengan demikian, ini merupakan pembedaan antara usia baligh dan usia nikah. Seolah-olah usia baligh itu tidak menandakan kesiapan seorang perempuan untuk menikah. Tentu tidak ada seorang pun yang akan mengatakan demikian. Semua orang jelas akan sepakat bahwa dengan mencapai usia baligh, seorang perempuan dikatakan telah siap untuk menikah dan hamil.
Larangan menikah sebelum usia 17 tahun mengandung mudarat bagi sekian banyak keluarga. Karena cukup banyak keluarga di Yaman dan selainnya yang menikahkan anak-anak perempuan mereka karena beberapa maksud tertentu, di antaranya adalah agar si perempuan dapat membantu mengurus keluarga suaminya. Demikian.
Wa shallallahu wa sallama wa baarak ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihii wa shahbih.

Rabu, 01 Agustus 2012

Tarling Bupati Banyumas di Cilongok

Bulan Ramadhan 1433 H Telah terlewati hampir setengah bulan. Pada bulan ini, kita kenal dengan istilah "TARLING" atau tarawih keliling. Pada tahun ini, Bapak Bupati Banyumas direncanakan akan melaksanakan Tarling di wilayah Kecamatan Cilongok tepatnya Desa Cikidang. Jadwal yang direncanakan adalah kamis, 02 Agustus 2012 di Masjid Ciwaru. Acara tersebut juga akan dihadiri oleh jajaran pejabat pemerintahan dan dari Kementerian Agama. Dalam Hal ini Kepala KUA Kecamatan Cilongok, Bapak Iskak, SHI. Menyamput positif rencana tersebut dan telah mempersiapkan diri untuk turut serta dalam acara tersebut.